Minggu, 31 Oktober 2010

Penerapan Dinamika Kelompok

Pada dasarnya latihan dinamika kelompok berupaya menggali sekelumit pengalaman hidup yang sesungguhnya, untuk diamati dalam "laboratorium" agar dapat dipelajari secara mendalam sehingga peserta mendapat pandangan dan kematangan kepribadian yang lebih tepat untuk bergerak dan bekerja dalam kelompok secara lebih efektif dan efisien. Dalam pengalaman tiruan yang dialaminya dalam "laboratorium" latihan dinamika kelompok seseorang akan menjadi lebih peka akan sebab akibat sikap dan tingkah laku manusia dengan segala liku-liku perasaan dan pikirannya. Penggabungan efisiensi ilmiah dengan pengalaman realitas dikenal dengan sebutan "Latihan Dinamika Kelompok", yaitu suatu pendekatan laboratoris". Dalam latihan ini sejumlah orang dikumpulkan dalam kelompok dan melakukan berbagai kegiatan bersama dalam kurun waktu tertentu.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan proses berlatih melatih adalah :
(1) peserta latihan,
(2) tujuan latihan,
(3) waktu,
(4) peran pembimbing dan,
(5) peralatan.
 
Latihan dinamika kelompok dalam proses berlatih melatih dilaksanakan dengan memperhatikan apa, siapa, bagaimana melaksanakannya dan tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan tersebut. Agar pelaksanaan proses berlatih melatih dapat berjalan dengan lancar, perlu dibuat perencanaan yang mencakup tujuan bentuk permainan alat bantu yang diperlukan dan uraian singkat cara pelaksanaannya.
 
Permainan/latihan dinamika kelompok dikelompokkan menjadi 6 kelompok tujuan, yaitu:
1. Berkenalan dan membentuk kelompok.
2. Komunikasi.
3. Diskusi.
4. Kerja sama.
5. Kepemimpinan.
6. Mengembangkan masyarakat.

TANDA-TANDA AWAL MUNCULNYA KONFLIK

Kemunculan konflik dalam organisasi, di dahului oleh early signs. Ng (2003 : 54) menunjukkan tanda-tanda awal, yaitu : ada perdebatan yang berkelanjutan, ada ekspresi perasaan negatif yang berulang-ulang, sudden drops in attendance, terganggunya komunikasi, unwillingness to communicate, increased telephone call, dan pergantian yang sering dari posisi kepemimpinan. Selanjutnya, Lasey (2003 :46) menyajikan beberapa gejala, seperti : komunikasi berubah bentuk menjadi penulisan memo dan e-mail, lebih banyak orang bekerja di balik pintu tertutup, rapat-rapat tidak memperoleh hasil apa-apa, bahasa "mereka "dan "kita', friksi dan permusuhan antar pribadi, nada suara menjadi tinggi dan ada air mata, terbentuknya gang-gang, rehat makan siang berkepanjangan dan jadwal tidak terjaga, aksi bolos dan tidak masuk kerja dengan alasan sakit, semangat kerja rendah atau ketegangan, orang-orang tampak tertekan dan muram, serta output/kualitas kerja yang terpengaruh.

TAHAP-TAHAP KONFLIK
Konflik tidak muncul seketika dan langsung menjadi besar. Konflik itu berkembang secara bertahap. Jika pemimpin tidak peka mengidentifikasi konflik sehingga intensitas konflik sudah mencapai tahap yang tinggi, maka penyelesaian konflik bisa sangat sukar, dan berpotensi menghancurkan semua pihak. Bila ego terluka dan perasaan tersakiti, maka semua yang terlibat konflik, biasanya akan berusaha mati-matian membela diri dan mencari kemenangan dengan segala cara, agar tidak kehilangan muka. Jadi, jika konflik sudah teridentifikasi sejak awal, dicarikan langkah penyelesaian yang lebih dini, maka relative lebih mudah dalam penanganan konflik.

Louis R. Pondy (dalam George & Jones, 1999:660) merumuskan lima episode konflik yang disebut "Pondys Model of Organizational Conflict". Menurutnya, konflik berkembang melalui lima fase secara beruntun, yaitu : latent conflict, perceived conflict, felt conflict, manifest conflict and conflict aftermath.
1. Tahap I, Konflik terpendam. Konflik ini merupakan bibit konflik yang bisa terjadi dalam interaksi individu ataupun kelompok dalam organisasi, oleh karena set up organisasi dan perbedaan konsepsi, namun masih dibawah permukaan. Konflik ini berpotensi untuk sewaktu-waktu muncul ke permukaan.
2. Tahap II, Konflik yang terpersepsi. Fase ini dimulai ketika para actor yg terlibat mulai mengkonsepsi situasi-situasi konflik termasuk cara mereka memandang, menentukan pentingnya isu-isu, membuat asumsi-asumsi terhadap motif-motif dan posisi kelompok lawan.
3. Tahap III, Konflik yang terasa. Fase ini dimulai ketika para individu atau kelompok yang terlibat menyadari konflik dan merasakan penglaman-pengalaman yang bersifat emosi, seperti kemarahan, frustasi, ketakutan, dan kegelisahan yang melukai perasaan.
4. Tahap IV, Konflik yang termanifestasi. Pada fase ini salah satu pihak memutuskan bereaksi menghadapi kelompok dan sama-sama mencoba saling menyakiti dan menggagalkan tujuan lawan. Misalnya agresi terbuka, demonstrasi, sabotase, pemecatan, pemogokan dan sebagainya.
5. Tahap V, Konflik sesudah penyelesaian. Fase ini adalah fase sesudah konflik diolah. Bila konflik dapat diselesaikan dengan baik hasilnya berpengaruh baik pada organisasi (fungsional) atau sebaliknya (disfungsional).

Pickering (2006:22,23) membagi tahap-tahap perkembangan konflik, yaitu : tahap pertama, dimana terjadi perselisihan-perselisihan kecil sehari-hari. Biasanya dalam kelompok terdapat perbedaan nilai kehidupan, budaya, kebutuhan, dan tujuan hidup. Perbedaan-perbedaan ini, mulai bersinggungan dan menimbulkan rasa jengkel, dan sebagainya. Kemudian, tahap kedua, dimana tantangan menjadi lebih besar. Unsur persaingan mulai menonjol. Bahkan sudah menyangkut urusan pribadi, dan mulai mencari kesalahan orang lain. Terakhir, adalah tahap ketiga, dimana terjadi pertarungan terbuka, mengakibatkan tujuan bergeser dari ingin menang menjadi ingin menyakiti.

SUMBER-SUMBER KONFLIK

 Setelah memahami berbagai jenis konflik, dapatlah diurai sumber-sumber konflik atau apa yang menyebabkan terjadinya konflik. Sumber konflik dalam organisasi dapat ditelusuri melalui Konflik dalam diri individu (intrapersonal conflict), Konflik antarindividu (Interpersonal conflict), Konflik antarkelompok (Intergroup conflict), ataupun Konflik antar individu dengan kelompok.

Intrapersonal Conflict
1. Konflik ini bisa berasal dari dalam diri. Menurut Luthan (2002 : 400), penyebab dari dalam bisa bersumber dari sifat-sifat atau cirri-ciri kepribadian dari orang yang bersangkutan. Ia mengutip hasil penelitian Friedman dan Roseman tentang kepribadian manusia yang mereka klasifikasikan dengan profil tipe A dan tipe B. Ciri-ciri orang berkepribadian tipe A adalah : tidak bisa diam, berjalan cepat, makan cepat, bicara cepat, tidak sabar, melakukan dua hal sekaligus, tidak menyukai waktu senggang, terobsesi dengan angka-angka, mengukur kesuksesan dengan kuantitas, agresf, kompetitif dan selalu merasa dikejar waktu. Sedangkan kepribadian tipe B bercirikan : kurang peduli terhadap waktu, sabar, tidak suka membual, bermain untuk kesenangan bukan kemenangan, santai, tidak dikejar waktu, bertingkah laku tenang dan tidak pernah terburu-buru. Orang-orang bertipe A, lebih cenderung merasakan konflik di dalam diri mereka. Kebanyakan dari mereka akan menderita serangan jantung.
Selain itu, penyebab konflik dalam diri adalah apa yang disebut goal conflict. Hal ini terjadi karena seseorang diperhadapkan pada dua tujuan atau karena harus membuat keputusan untuk memilih alternative yang terbaik.

Episode konflik yang berlaku, adalah :
• Approach-approach Conflict, dimana seseorang mengalami konflik karena diperhadapkan pada dua tujuan yang sama-sama menguntungkan atau sama-sama disukai, karena memiliki daya tarik yang sama juga. Sebagai contoh, di waktu yang sama, seseorang harus membuat pilihan menerima promosi jabatan yang sudah lama didambakan atau pindah tempat tugas ke tempat lain dengan iming-iming gaji yang besar.
• Avoidance-avoidance Conflict. Di sini, seseorang menghadapi situasi yang mengharuskan ia terpaksa memilih di antara dua alternatif yang sama-sama tidak disukai atau sama-sama dianggap buruk. Contoh kongkrit, seumpama seseorang disuruh memilih untuk dipindahkan kerja ke daerah lain pada lokasi yang tidak menyenangkan, atau tidak pindah ke tempat baru yang disuruh tapi gajinya diturunkan.
• Approach-avoidance conflict. Pada kasus ini, seseorang harus menghadapi situasi dimana waktu ia memilih, ia harus menghadapi konsekwensi yang saling bertolak belakang. Misalnya, orang itu akan memperoleh gaji yang sangat besar, tapi harus pindah ke tempat terpencil yang sangat tidak disukai.
Nelson dan Quick (1997 : 385), mengemukakan tiga penyebab intrapersonal conflict.
• Inter-role Conflict, dimana seseorang mengalami konflik yang bertalian dengan peran dalam hidupnya. Biasanya, pekerja / pegawai mengalami konflik, yang disebut work / home conflict. Contohnya, seorang ibu yang Pegawai Negeri Sipil (PNS) terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya, karena harus menjaga anaknya yang dirawat di rumah sakit.
• Intra-role Conflict. Ini terjadi bila terdapat konflik yang bertalian dgn peran tunggal (single role), misalnya saat seseorang menerima perintah yang berbeda dari dua atasannya. Atasan yang satu menyatakan harus menjaga jarak antarkaryawan supaya kinerja tidak terganggu, sementara atasan yang lain meminta agar semua karyawan mengutamakan kerja tim, sehingga ia kesulitan menjalankan perannya.
• Person-role Conflict, sebagai Konflik yang muncul dalam melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai hidup yang dianut. Contohnya, seseorang yang harus menjual produk dengan harga tinggi, padahal dia sadar bahwa calon konsumennya membutuhkan keuangan untuk ongkos sekolahnya.
2. Konflik yang bersumber dari luar. Misalnya, tuntutan lingkungan kerja yang baru, kehilangan kebebasan pribadi, erosi kontak wajah, terus-menerus dipaksa mempelajari keterampilan kerja baru karena tuntutan pekerjaan, dan terlewatkan dalam promosi jabatan.

Interpersonal Conflict

Konflik ini dapat terjadi karena perbedaan latar belakang individu (perbedaan pendidikan, keahlian, keterampilan, pengalaman kerja, dan nilai hidup), kemudian karena perbedaan latar belakang sosial (perbedaan budaya, agama, dan sebagainya), serta perbedaan ciri-ciri pribadi (lemah lembut, kasar, tegas, plin-plan, agresif, dan sebagainya).
Di kategori ini, di samping konflik yang bersumber dari latar belakang dan ciri kepribadian individu, terdapat juga sumber-sumber lain seperti kekurangan informasi (information deficiency), persaingan dalam perebutan pengaruh, persaingan dalam memperoleh jabatan, pertentangan kepentingan pribadi (misalnya perebutan mobil dinas), konflik antar peranan (seperti antara manajer dan bawahan), melewati batas-batas territorial (letak barang seperti meja yang lewat batas, atau mobil salah parker), gaya kepemimpinan (misalnya pemimpin yang kasar yang menyakiti hati banyak orang yang dipimpinnya.

Intergroup Conflict .

Dalam organisasi, terdapat beberapa factor yang menyebabkan konflik. Mari membahas satu demi satu.
1. Perbedaan dalam tujuan dan prioritas. Setiap sub unit dalam organisasi memiliki tujuan dan prioritas khusus. Misalnya, dalam hubungan kerja, bagian pemasaran ingin agar produknya cepat laku. Kalau perlu dijual murah dan dengan cara kredit. Sebaliknya, bagian keuangan menghendaki pembayaran harus tunai agar posisi kekuangan perusahaan tetap stabil.
2. Saling ketergantungan tugas (task interdependence). Ada yang disebut ketergantungan berurutan (sequential interdependence), dimana output dari suatu unit merupakan input dari unit lain. Misalnya, untuk merespon suatu surat permohonan, kepala bagian masih harus menunggu disposisi dari atasannya. Ada juga yang disebut ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence), seperti hubungan antara dokter, rumah sakit dan laboratorium.
3. Konflik yang disebabkan oleh pembagian sumber daya (resource interdependence). Antarunit kerja bersaing karena untuk mendapatkan sumber daya yang lebih (personil, dana, material, peralatan, ruangan, fasilitas computer dan lainnya).
4. Deskripsi tugas yang tidak jelas. Ini pun akan mengakibatkan konflik. Kekaburan karena tidak ada guide lines dan policies yang jelas, akan membuat kelompok lainnya tersinggung karena dilangkahi.
5. Perbedaan kekuasaan dan status. Biasanya terjadi karena suatu departemen merasa lebih penting atau memiliki rasa over value ketimbang departemen lainnya. Departemen yang lainnya pasti akan merasa dilecehkan.
6. Perbedaan sistim imbalan dan intensif yang diatur per-unit, bukan berdasarkan tujuan organisasi.
7. Faktor birokratik (lini-staf), dimana pegawai lini memiliki wewenang dalam proses pengambilan keputusan sementara staf lebih pada memberikan rekomendasi atau saran. Sering pegawai lini merasa lebih penting, sementara staf merasa lebih ahli. Ujung-ujungnya konflik. Kedelapan, karena sistem komunikasi dan informasi yang terganggu. Kadang, terjadi misunderstanding di kalangan pelaku organisasi karena informasi yang diterima kurang jelas atau bertentangan dengan tujuan yang sebenarnya.
Konflik antara individu dan kelompok.
Konflik di sini biasanya dipicu oleh beberapa hal, seperti : anggota kelompok yang tidak dapat memenuhi harapan dan standar kerja, individu yang melanggar norma yang disepakati, serta individu yang melecehkan atau mempermalukan kelompok.
Ray Pneuman (dalam Stevanin, 2000 : 134) mengidentifikasi sumber-sumber konflik antara individu dan kelompok di dalam organisasi. Menurutnya, konflik dapat berlaku jika ada perbedaan nilai dan keyakinan dari anggota organisasi, tidak jelasnya struktur organisasi, tidak cermatnya peran dan tanggung jawab pimpinan, berkembangnya struktur organisasi ke arah yang lebih besar dan luas, tidak berpadunya gaya kepemimpinan yang dipraktekkan oleh manajer dengan para karyawan, pimpinan baru yang terlalu cepat diangkat, komunikasi yang kurang lancar, pertentangan yang tidak terantisipasi oleh pimpinan, para karyawan yang tidak mau menunjang dan berpartisipasi atau pimpinan baru yang masih mengikuti pola lama dari pimpinan yang digantikannya yang tidak disukai karyawan.

Sabtu, 30 Oktober 2010

Fase-fase Kelompok


1. Fase Pembentukan atau orientasi
Dalam fase ini anggota kelompok menemukan dirinya. Mereka menginginkan keunikan, saling menguji untuk prilaku yang dapat diterima atau tidak. Merupakan waktu untuk pertukaran informasi, untuk menemukan aturan dasar dan untuk mengukur ketepatan.
2. Fase Konflik atau kekacauanSelama fase ini anggota kelompok menempati posisi, kendali dan pengaruh. Terdapat perebutan kepemimpinan dan meningkatnya kompetisi. Pemimpin menolong anggota melalui fase ini, membantu peranan dan penugasan.
3. Fase Kohesi atau penormalanPeran dan norma dibuat dengan bergerak kearah consensus dan objektif. Anggota mencapai pemahaman umum tentang sifat sejati dari kesempatan. Mereka akan mendiagnosa akar penyebab dari masalah, penyimpangan dari kinerja yang diharapkan. Moral dan kepercayaan membaik dan yang negative ditekan. Pemimpin membimbing dan mengarahkan sesuai kebutuhan.
4. Fase Bekerja atau berpenampilanAnggota bekerja dengan penampian penuh, lebih banyak membuka diri dan kesatuan. Mereka menyelesaikan tugas. Pemimpin dapat memberikan intervensi sesuai kebutuhan.
5. Fase Terminasi
Bila tujuan terpenuhi maka kelompok akan berakhir. Pemimpin membimbing anggota untuk meringkas diskusi, mengekspresikan perasaan dan membuat pernyataan tertutup. Terdapat keengganan untuk berhenti.

Minggu, 24 Oktober 2010

pendekatan cara konfrontasi

Walaupun kesemua cara atau strategi ini cukup efektif, namun yang paling ideal adalah pendekatan dengan cara konfrontasi. Alasannya adalah karena dengan strategi konfrontasi semua persoalan yang diduga menjadi penyebab timbulnya konflik akan terungkap sehingga kedua belah pihak akan dapat melihat kembali dan mempelajari secara matang dan untuk selanjutnya diambil penyelesaian yang matang dan rasionil. Berbagai studi mengenai manajemen konflik menunjukkan bahwa penyelesaian konflik melalui pendekatan konfrontasi memberi kepuasan bagi kedua belah pihak dan dirasa cukup konstruktif.
Secara umum, berbagai prosedur dapat dilalui dalam upaya menyelesaikan konflik antara lain secara hukum, penggunaan pihak ketiga, dengan kekerasan, serta negosiasi atau perundingan. Dan kesemua prosedur ini yang efektif adalah melalui negosiasi atau perundingan. Negosiasi sebenarnya merupakan suatu proses penyelesaian dengan cara mendapatkan suatu kesepakatan.
Dalam negosiasi ada beberapa langkah-langkah yang perlu diperhatikan agar hasil yang diperoleh cukup konstruktif, antara lain sebagai berikut:
Langkah 1 : Pencairan.
Pada langkah ini kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengungkapkan persepsi masing-masing terhadap persoalan dengan tujuan mendapatkan klarifikasi dan mencari upaya-upaya yang tepat kearah pemecahan permasalahan. Ada beberapa hal yang dapat membantu agar langkah awal ini menjadi lebih efektif, yaitu :
􀂾
􀂾
􀂾
pahami pandangan lawan secara objektif
ungkapkan permasalahan secara objektif, jangan menyinggung pribadi secara psikologis
pilihlah waktu yang tepat untuk memulai negosiasi
Langkah 2 : Kejelasan/ketegasan permasalahan secara bersama-sama.
Kejelasan akan permasalahan yang menyebabkan timbulnya konflik sebaiknya dibicarakan secara bersama-sama. Hal ini penting untuk menyamakan persepsi tentang permasalahan tersebut. Beberapa hal yang penting diperhatikan disini adalah:
􀂾
􀂾
􀂾
perlu ketegasan tentang pokok permasalahan
perlu ditekankan bahwa permasalahan yang timbul akibat terjadinya konflik tersebut merupakan masalah bersama yang perlu dipecahkan bersama demi perbaikan mutu kerja
jangan menghina atau mencela pribadi, tapi ungkapkanlah tindakan yang dilakukan secara objektif dan jelas
 
Langkah 3 : Kejelasan posisi dan perasaan.
Selama proses negosiasi, penempatan isu yang dibicarakan serta perasaan terhadap isu tersebut mungkin saja berubah. Oleh karena itu agar negosiasi dapat berhasil puan untuk mengungkapkan permasalahan secara benar dan kemampuan mendengar sangat dibutuhkan. Konflik akan sulit diatasi bila negosiator tidak mengalami duduk persoalan yang menjadi isu dalam konflik tersebut. Hanya dengan mengetahui dan memahami apa yang menjadi perbedaan-perbedaan antara kedua pihak sehingga timbul konflik maka penyelesaian yang konstruktif dapat dicapai. Oleh karena itu penting diketahui bagaimana persepsi atau tanggapan pihak terhadap isu yang menimbulkan konflik tersebut.
Langkah 4 : Mencari tema bersama.
Berbagai studi menunjukkan bahwa konflik dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat bila dalam upaya penyelesaian konflik tersebut lebih ditekankan pada pencarian tujuan-tujuan yang bersifat koperatif yang menyangkut kedua belah pihak. Disamping itu, upaya ini mengurangi kemungkinan reaksi defensif dari pihak lawan, meningkatkan pengertian terhadap kedua belah pihak dan mengurangi perasaan kalah-menang dalam negosiasi.
Langkah 5 : Belajar empati.
Negosiasi sukar untuk berhasil bila kita hanya melihat permasalahan dari perspektif sepihak saja. Pengetahuan tentang bagaimana pihak lawan melihat permasalahan dan bagaimana persepsi lawan terhadap isu yang timbul sangat dibutuhkan agar penyelesaian konflik dapat dilakukan secara efektif dan konstruktif. Belajar melihat permasalahan dari kacamata dan belajar berdiri pada sepatu orang lain merupakan hal yang penting dalam menentukan keberhasilan negosiasi.
Langkah 6 : Koordinasi motivasi untuk penyelesaian permasalahan.
Keinginan untuk menyelesaikan konflik seringkali berbeda diantara kedua belah pihak yang berselisih. Walaupun satu pihak ingin berdamai, belum tentu pihak lain mempunyai keinginan yang sama pula. Disinilah letak kemampuan negosiator untuk dapat mengkoordinasikan motivasi dan keinginan kedua belah pihak sehingga masing-masing pihak merasakan akan pentingnya penyelesaian konflik ini demi kebaikan semua pihak. Agar motivasi untuk berdamai ini timbul, penting sekali diungkapkan kepada kedua belah pihak kerugian-kerugiaan yang ditimbulkan akibat terjadinya perselisihan ini.
Langkah 7 : Pencapaian kesepakatan.
Konflik sudah dapat dikatakan "selesai" bila sudah ada kesepakatan dari kedua belah pihak. Pada tahap ini kedua belah pihak telah menerima apa yang telah diputuskan secara bersama sebagai suatu penyelesaian dan secara terbuka telah menyatakan keikatan mereka untuk melaksanakannya.
Secara singkat, dapat dikatakan dalam upaya penyelesaian konflik secara konstruktif dibutuhkan keterbukaan, kejujuran dan keobjektifan dalam melihat permasalahan. Selain itu perlu dipahami bagaimana persepsi dan perasaan masing-masing pihak dalam melihat permasalahan tersebut.

dikutip dari : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3730/1/fkm-linda3.pdf

Konflik dalam kelompok.

Sepanjang individu berinteraksi dengan individu lain, konflik tidak mungkin terhindarkan. Konflik dapat terjadi dalam menentukan suatu tujuan atau dalam menentukan metode yang akan diambil untuk mencapai tujuan. Misalnya, suatu kelompok yang terdiri dari 6 (enam) orang diberi uang Rp. 10.000.000,- yang harus dihabiskan dalam waktu 2 (dua) minggu. Dua orang dari kelompok ingin untuk menyumbangkan semua uang tersebut pada sebuah panti asuhan, dua orang lainnya ingin agar uang tersebut dipakai untuk berlibur, sementara dua orang lagi menginginkan uang tersebut digunakan untuk membantu keluarganya meneruskan sekolah. Apa yang terjadi dalam kelompok ini? Jelas, kelompok ini berada dalam keadaan konflik, dimana mereka harus membuat keputusan yaitu "bagaimana uang tersebut digunakan" sementara anggota kelompok mempunyai keinginan yang berbeda-beda.
Konflik dapat terjadi bila perhatian utama anggota kelompok diarahkan pada diri sendiri. Dalam hal ini perspektif mereka menjadi sempit dan orientasi mereka hanya pada jangka waktu pendek saja. Oleh Sherif dan sherif (1953) dikatakan bahwa konflik ini dapat diatasi bila anggota kelompok mati memperluas persepsi mereka agar lebih diarahkan pada apa yang disebutnya sebagai "tujuan super ordinat". Tujuan super ordinat adalah tujuan yang sangat penting bagi semua orang dalam kelompok, tetapi tidak dapat dicapai hanya dengan bekerja sendiri. Dengan perkataan lain, kebutuhan kelompok akan terpenuhi selama semua orang yang terlibat dalam kelompok tersebut ikut bekerja.
Secara umum, faktor-faktor yang dapat merupakan sumber konflik antara lain adalah :
􀂾
perbedaan-perbedaan keinginan, nilai, tujuan
􀂾
adanya keterbatasan akan sumber tertentu seperti kekuasaan, kedudukan, waktu, popularitas, uang dan lain-lain
􀂾
persaingan (rivalry)
Konflik tidak selamanya memberikan dampak yang jelek pada kelompok ataupun organisasi. Di dalam organisasi yang sehat justru konflik dianjurkan, hal ini sering dikenal dengan istilah kontroversi. Berbagai studi dalam bidang ilmu perilaku oranisasi yang menunjukkan bahwa adu argumentasi, ketidaksetujuan, debat, ide-ide atau informasi yang bermacam-macam ternyata sangat penting dalam meningkatkan kreatifitas dan kualitas kelompok. Keuntungan yang diperoleh dengan adanya konflik antara lain adalah anggota kelompok akan lebih terstimulasi atau terangsang untuk berpikir atau berbuat sehingga mengakibatkan kelompok menjadi lebih dinamis dan berkembang karena setiap orang mempunyai kesempatan untuk menuangkan ide-ide atau buah pikirannya secara lebih terbuka. Namun, untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam artian produktif konstruktif, konflik harus dikendalikan secara positif.
Kerugian yang ditimbulkan oleh konflik biasanya disebabkan karena konflik tersebut biarkan berjalan dalam waktu yang lama dan berkepanjangan atau dibiarkan menjadi semakin meruncing tanpa ada penyelesaian. Tentu hal ini dapat merusak iklim kerja dan pada akhirnya akan berpengaruh pada kinerja kelompok.
Pada dasarnya konflik yang terjadi dapat dikategorikan dalam dua bentuk yaitu konflik antar individu (interpersonal conflict) dan konflik antar kelompok (intergroup onflict). Diantara kedua bentuk ini, konflik antar individu merupakan permasalahan yang cukup serius karena keadaan ini dapat mempengaruhi emosi individu secara mendalam dan bila keadaan ini tidak dikendalikan secara tepat maka cepat atau lambat dapat merusak iklim kerja baik dalam kelompok maupun organisasi.
Bila seseorang berada dalam keadaan konflik ada dua hal yang mempengaruhi cara yang ditempuh untuk mengatasinya yaitu 1) memperhatikan tujuan personal dan 2) keinginan untuk tetap mempertahankan hubungan baik dengan anggota kelompok. Dengan mempertimbangkan kedua aspek ini, dalam penyelesaian konflik dikenal beberapa kemungkinan strategi yang ditempuh
 
seperti menghindar dari konflik
Strategi dan hasil yang mungkin dapat diperoleh dalam mengatasi konflik dapat kita lihat sebagai berikut :
Strategi yang dipilih: Kemungkinan hasil yang diperoleh:
- menghindari persoalan (avoiding) - kalah-kalah (lose-lose)
- melunakkan suasana (smoothing) - kalah-menang (lose-win)
- menggunakan kekerasan (forcing) - menang-kalah (win-lose)
- konfrontasi (controntation) - menang-menang (win-win)

dikutip dari : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3730/1/fkm-linda3.pdf



Syarat-syarat penting komunitas menurut Cooley (Soerjono Soekanto, 1982) adalah:

1. bahwa anggota-anggota kelompok tersebut secara fisik berdekatan satu dengan yang
lainnya;
2. bahwa kelompok tersebut adalah kecil, dan
3. adanya suatu kelanggengan dari pada hubungannya antara anggota-anggota kelompok
yang bersangkutan.
Agar dapat terjadi hubungan yang akrab, maka individu-individu itu mau tidak mau secara
fisik harus saling berhubungan secara langsung, dan hubungan inilah yang bagi masyarakat
tradisi merupakan saluran yang teramat penting untuk dapat melakukan pertukaran
pengalaman dan pikiran, sehingga cita-cita dan tujuan-tujuan yang diharapkan akan lebih
mudah untuk dapat dicapai.
Keakraban hubungan antar anggota kelompok sesungguhnya sangat tergantung pada sering
atau tidaknya anggota-anggota kelompok yang bersangkutan melakukan kontak langsung.
Keakraban hubungan yang langsung itu secara bersama-sama dengan homogenitas cita-cita
dari setiap anggota kelompok itu berpengaruh langsung terhadap kelanggengan dari pada
kehidupan kelompok sosial masyarakat itu. Menurut Ferdinand Tonnies (Daldjuni: 1982),
relasi sosialnya disebut sebagai kehidupan yang
gemeinschaft, yaitu society of tradition
(masyarakat tradisi) yang bersifat personal, informal, sentimental, dan umum (general).
Jadi ikatan personal dan hak tradisianal sangat menonjol dalam sikap dan perilaku sehari-hari
dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat. Gemeinschaft menurut Tonnies adalah
persekutuan hidup di mana orang-orang memelihara hubungan berdasarkan keturunan dan
kelahiran, berdasarkan rumah tangga dan keluarga serta pula famili dalam arti yang luas
yang selalu menunjukkan adanya hubungan yang erat diantara anggotanya. Dalam hal ini
Hassan Shadily (1984) menambahkan bahwa adat dan hak milik bersama terhadap tanah
adalah unsur yang terpenting bagi gemeinschaft. Hubungan pertalian yang erat antar sesama
anggota kelompok kemudian melahirkan satu perasaan, kebiasaan bersama yang mengkristal
menjadi adat kebiasaan atau tradisi. Persekutuan hidup itu hanya dapat bergerak, hidup dan
bermanfaat bagi semua, jika segala usaha yang berhubungan dengan kepentingan hidup
bersama senantiasa didasarkan pada tradisi kelompok.

Intensitas Hubungan Anggota Kelompok


Masyarakat tradisi adalah sekumpulan individu yang saling berhubungan antara satu sama
lainnya, di mana dalam setiap kegiatannya didasarkan atas ikatan nilai-nilai dan normanorma
sosial yang berlaku di lingkungan daerah setempat. Dalam hubungan sosial
masyarakat tertanam suatu kekuatan ikatan persaudaraan, kekeluargaan dan ikatan perasaan
secara psikologis. Hubungan-hubungan sosialnya mencerminkan adanya kesatuan-kesatuan
kelompok tertentu yang didasarkan atas hubungan kekerabatan atau garis keturunan. Dalam
lingkungan pemukiman tertentu kadang-kadang terdiri dari beberapa kelompok kerabat atau
keturunan. Menurut Soedjono Dirdjosisworo (1985), bahwa hubungan-hubungan demikian
biasanya menimbulkan reaksi-reaksi emosional yang kuat diantara anggota kelompok yang
bersangkutan. Kondisi kehidupan kelompok ini dapat disebut sebagai kelompok primer,
yaitu kelompok-kelompok keluarga di mana para individu-individu hidup dan bergaul
secara intim.
Dalam kehidupan kelompok pada masyarakat tradisi biasanya didasarkan atas ikatan
hubungan batin dan perasaan yang tumbuh secara alami. Segala sesuatunya dinilai atas
dasar rasa cinta dan kepuasan batin. Tujuan hidup baru dapat dicapai apabila orang
perorangan sebagai anggota kelompok dan masyarakat telah mendapatkan kepuasan batin.
Sedangkan harta kekayaan bukanlah suatu ukuran yang dapat menjamin bagi seseorang
untuk dapat hidup senang, puas dan sejahtera.
Masyarakat tradisi juga merupakan kondisi perpaduan atau percampuran antara beberapa
orang (kelompok) suku atau keturunan atas dasar motivasi pemenuhan kebutuhan yang sama
dari perkumpulan tersebut. Usaha memenuhi kebutuhan secara pribadi (perorangan) semakin
lama semakin sulit dirasakan, sehingga seseorang semakin memerlukan banyak perbandinganperbanding-
an, hubungan-hubungan dan sumbangan-sumbangan pikiran dari orang atau
kelompok lain. Bagi kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang asal usul,
keturunan yang sama, dan bertempat tinggal bersama, cenderung lebih mudah membentuk
kesepakatan pola sikap perilaku, cara kerja dan tujuan-tujuan hidup yang sama. Hampir sebgain
besar anggota kelompok merasakan bahwa kehidupan kelompok benar-benar sebagai wadah
fungsional yang dapat memenuhi kepentingan-kepentingan utama hidupnya. Menurut istilah
Sosiologi, keadaan yang demikian itu dapat disebut dengan
diterjemahkan kedalam istilah sosiologi Indonesia adalah "Masyarakat setempat".

"Community" atau dapat

integrasi kelompok

Mengenai kehidupan kelompok sosial yang diharapkan agar bisa harmonis kembali sangat
tergantung pada besarnya keinginan dan kesadaran dari para anggota-anggota kelompok
secara keseluruhan untuk bersama-sama menyesuaikan diri dari keanekaragaman faham
mengenai tujuan-tujuan kelompok itu. Apabila reaksi anggota kelompok terhadap suatu
perbedaan faham itu mengalami keseimbangan, maka besar kemungkinan akan terjadi pase
solidaritas kelompok. Dengan demikian berarti memungkinkan intensitas integrasi sosial akan
meningkat, yaitu tercapainya suatu situasi dimana setiap anggota kelompok mempunyai
kesediaan untuk bekerjasama dengan koordinasi yang relatif lama. Jika keinginan dan
kesadaran itu bisa dipelihara dengan baik demi kelangsungan hidup kelompoknya, maka pase
integrasi dapat berjalan sesuai dengan tujuan-tujuan bersama melalui komunikasi bersama,
dan terkoordinasi segala tindakan yang dilakukan oleh para anggota kelompok tersebut.
Sebagai ukuran terjaminnya kelangsungan hidup suatu kelompok sosial adalah jika proses
integrasi telah dapat menghasilkan suatu keadaan yang homogen. Homogenitas kelompok
merupakan indikator bahwa kelangsungan hidup kelompok dalam batas waktu tertentu dapat
dipertahankan. Proses Integrasi ini menurut Oqburn dan Nimkoff, adalah bukan suatu proses
yang dapat berjalan dengan cepat. Integrasi merupakan suatu ikatan berdasarkan norma
kelompok, artinya tingkah laku individu sebagai anggota kelompok dituntut harus sesuai
dengan kehendak kelompok dan direstui pula atas nama kelompok.

Oqburn dan Nimkoff (Soerjono Soekanto, 1982), mengatakan bahwa integrasi akan berhasil
apabila:
a. anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil mengisi kebutuhan satu sama lain;
b. apabila tercapai semacam konsensus mengenai norma-norma dan nilai-nilai sosial;
c. apabila norma-norma cukup lama adalah "tetap" (= consistent) dan tidak berubah-ubah.
Dengan demikian dapat diketahaui bahwa indikator-indikator integrasi dalam suatu kelompok
sosial adalah:
a. Adanya persesuaian-persesuaian faham tentang norma-norma dan nilai-nilai yang baru
tercipta. Kehidupan dalam kelompok stabil dan para anggota-anggotanya lebih suka
tinggal didalamnya (kelompok). Mengenai bagaimana seorang anggota kelompok harus
bersikap dan bertindak serta bagaimana cara mencapai tujuan-tujuan pribadi dan tujuantujuan
kelompok, hal itu sebelumnya sudah disepakati bersama.

b. Noram-norma sosial yang berlaku cukup konsisten dan diakui oleh sebagian besar anggota
kelompok. Hal ini merupakan sesuatu yang dianggap dapat membantu dalam usaha
mewujudkan tujuan-tujuannya, baik tujuan kelompok maupun tujuan-tujuan pribadinya .
c. Sanksi-sanksi sosial yang berlaku dalam kelompoknya kembali dipertegas dan
diterapkan terhadap setiap penyimpangan atau terhadap anggota-anggotanya yang
melanggar peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama.
d. Persaingan yang terjadi sudah semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh adanya
sanksi-sanksi sosial yang berlaku lebih kuat dari pada kehendak-kehendak anggota
kelompok untuk melakukan penyimpangan.

Identitas Etnis Dalam Persektif Teori Identitas Sosial

Identitas individu dalam interaksi sosial merupakan hal yang fundamental dalam setiap interaksi sosial. Pertanyaan ‘Siapakah Anda ?’, sebenarnya selalu tertuju pada upaya mengungkap identitas seseorang dan selanjutnya menentukan bentuk interaksi sosialnya. Lan (2000) mengatakan bahwa setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya
 recognition) dari pihak lain dan persamaan sosial (social equality). Bahkan menurut Laker (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) dalam keadaan dimana individu ataupun kelompok merasa identitasnya sebagai anggota suatu kelompok kurang berharga maka akan muncul fenomena misidentification, yaitu upaya mengidentifikasi pada identitas / kelompok lain yang dipandang lebih baik. Fenomena ini misalnya ditemukan pada anak-anak kulit hitam di Amerika yang justru menganggap rendah kelompoknya sendiri dan lebih senang mengidentifikasi pada kelompok kulit putih. social comparison yang dipandang sebagai cara untuk menentukan posisi dan status identitas sosialnya (Taylor dan Moghaddam, 1994).
Menurut Hogg dan Abram (1988) di dalam masyarakat sendiri secara hirarkis terstruktur kategori-kategori sosial yang merupakan penggolongan orang menurut negara, ras, klas sosial, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama dan lain sebagainya. Di dalam masing-masing kategori sosial tersebut melekat suatu kekuatan, status dan martabat yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatu struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan antarindividu dan antarkelompok.

Pada dasarnya setiap individu ingin memiliki identitas sosial yang positif. Hal tersebut menurut Hogg dan Abram (1988) rangka mendapatkan pengakuan (
Dalam pandangan teori identitas sosial, keinginan untuk memiliki identitas sosial yang positif dipandang sebagai motor psikologik penting dibalik tindakan-tindakan individu dalam setiap interaksi sosial. Hal tersebut berlangsung melalui proses
Proses social comparison merupakan serangkaian pembandingan dengan orang / kelompok lain yang secara subyektif membantu individu membuat penilaian khusus tentang identitas sosialnya dibanding identitas sosial yang lain (Hogg dan Abram, 1988)
Selalu ada upaya-upaya untuk mempertahankan identitas sosial yang positif dan memperbaiki citra jika ternyata identitas sosialnya sedang terpuruk baik dalam skala individual maupun skala kelompok. Dalam konteks makro sosial (kelompok, masyarakat) maka upaya mencapai identitas sosial positif dicapai melalui 1) mobilitas sosial dan 2) perubahan sosial.
Mobilitas sosial adalah perpindahan invidividu dari kelompok yang lebih rendah ke kelompok yang lebih tinggi. Mobilitas sosial hanya mungkin terjadi jika peluang untuk berpindah itu cukup terbuka. Namun demikian jika peluang untuk mobilitas sosial tidak ada, maka kelompok bawah akan berusaha meningkatkan status sosialnya sebagai kelompok. Pilihan pertama adalah dengan menggeser statusnya ke tingkat lebih atas. Kalau kemungkinan menggeser ke posisi lebih atas tidak ada, maka usaha yang dilakukan adalah dengan meningkatkan citra mengenai kelompok agar kesannya tidak terlalu jelek. (Hogg dan Abram, 1988; Sarwono, 1999)

dikutip dari:  jurnal (Krisis Identitas Etnis Cina di Indonesia Oleh: DP. Budi Susetyo)
sense of belonging dan eksistensi sosial. Menurut teori identitas sosial (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) identitas individu yang tampil dalam setiap interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok sosial, dimana didalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya.

dinamika kelompok

Kebutuhan akan pentingnya mengetahui dan memahami tentang dinamika kelompok atau proses-proses interaksi yang terjadi di dalam kelompok semakin hari semakin meningkat. Sebagai mahluk sosial, manusia memang tidak mungkin hidup sendiri tanpa ada orang lain bersamanya, apakah itu dalam keluarga, dalam kehidupan bermasyarakat, di kantor dan sebagainya. Dari hari pertama dilahirkan, kita sudah merupakan bagian dari kelompok yang dikenal sebagai keluarga; kita tidak mungkin dapat bertahan hidup pada menit-menit pertama, minggu-minggu pertama malahan pada tahun-tahun pertama setelah kelahiran tanpa bantuan dari kelompok (keluarga). Dan melalui keluarga ini pula kita mulai belajar bagaimana harus bersosialisasi, yang mana nantinya merupakan dasar dari pola tingkah laku dan pola berpikir serta mendidik kita agar mempunyai perspektif tertentu terhadap diri sendiri dan dunia luar/lingkungan. Selanjutnya, hari demi hari kita lalui bersama kelompok, dari satu kelompok ke kelompok yang lain, baik formal maupun informal. Dan dalam kelompok-kelompok ini interaksi kita dengan orang lain dalam kelompok tidak dapat terhindarkan. Dari berbagai studi tentang perilaku dan kepribadian menunjukkan bahwa bentuk perlakuan yang diterima seseorang dalam kelompoknya mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam menentukan identitas kepribadian seseorang.
Dari keterangan diatas, dapat kita lihat bahwa kehidupan dalam kelompok sangatlah dinamis. Semakin efektif suatu kelompok, semakin baik pula kualitas kehidupan anggota-anggotanya. Yang penting diperhatikan agar kelompok tersebut tetap efektif adalah pengetahuan yang cukup tentang dinamika atau proses-proses yang terjadi serta kemampuan kita untuk berperilaku secara efektif dalam kelompok. Kedua hal penting ini dapat kita pelajari melalui pemahaman tentang dinamika kelompok.

Dinamika kelompok sebenarnya adalah bagian dari ilmu pengetahuan sosial yang lebih menekankan perhatiannya pada interaksi manusia dalam kelompok yang kecil. Pada berbagai referensi, istilah dinamika kelompok ini disebut juga dengan proses-proses kelompok (group processes). Jelas dari terminologi ini bahwa pengertian dari dinamika kelompok ataupun proses kelompok ini menggambarkan semua hal atau proses yang terjadi dalam kelompok akibat adanya interaksi individu-individu yang ada dalam kelompok itu.
Studi mengenai interaksi antar individu dalam kelompok oleh para ahli psikologi telah dimulai sejak awal tahun 1900-an. Kemudian oleh Kurt Lewin, seorang ahli psikologi kelahiran Polandia mulai dikembangkan lebih dalam mengenai dinamika kelompok ini. Beliau menekankan bahwa untuk mempelajari dan memahami tentang dinamika kelompok adalah dengan cara menerapkannya (learning by doing).

Fritz Heider, seorang ahli psikologi lain, dalam Teori Keseimbangan-nya (Balanced Theory) yang membahas mengenai hubungan-hubungan antar pribadi menerangkan bahwa individu-individu sebagai bagian dari struktur sosial cenderung untuk menjalin hubungan satu sama lain. Dan menurutnya, salah satu cara bagaimana suatu kelompok dapat berhubungan adalah dengan menjalin komunikasi secara terbuka.

Konflik dalam kelompok.


Sepanjang individu berinteraksi dengan individu lain, konflik tidak mungkin terhindarkan. Konflik dapat terjadi dalam menentukan suatu tujuan atau dalam menentukan metode yang akan diambil untuk mencapai tujuan. Misalnya, suatu kelompok yang terdiri dari 6 (enam) orang diberi uang Rp. 10.000.000,- yang harus dihabiskan dalam waktu 2 (dua) minggu. Dua orang dari kelompok ingin untuk menyumbangkan semua uang tersebut pada sebuah panti asuhan, dua orang lainnya ingin agar uang tersebut dipakai untuk berlibur, sementara dua orang lagi menginginkan uang tersebut digunakan untuk membantu keluarganya meneruskan sekolah. Apa yang terjadi dalam kelompok ini? Jelas, kelompok ini berada dalam keadaan konflik, dimana mereka harus membuat keputusan yaitu "bagaimana uang tersebut digunakan" sementara anggota kelompok mempunyai keinginan yang berbeda-beda.
Konflik dapat terjadi bila perhatian utama anggota kelompok diarahkan pada diri sendiri. Dalam hal ini perspektif mereka menjadi sempit dan orientasi mereka hanya pada jangka waktu pendek saja. Oleh Sherif dan sherif (1953) dikatakan bahwa konflik ini dapat diatasi bila anggota kelompok mati memperluas persepsi mereka agar lebih diarahkan pada apa yang disebutnya sebagai "tujuan super ordinat". Tujuan super ordinat adalah tujuan yang sangat penting bagi semua orang dalam kelompok, tetapi tidak dapat dicapai hanya dengan bekerja sendiri. Dengan perkataan lain, kebutuhan kelompok akan terpenuhi selama semua orang yang terlibat dalam kelompok tersebut ikut bekerja.
Secara umum, faktor-faktor yang dapat merupakan sumber konflik antara lain adalah :
􀂾
perbedaan-perbedaan keinginan, nilai, tujuan
􀂾
adanya keterbatasan akan sumber tertentu seperti kekuasaan, kedudukan, waktu, popularitas, uang dan lain-lain
􀂾
persaingan (rivalry)
Konflik tidak selamanya memberikan dampak yang jelek pada kelompok ataupun organisasi. Di dalam organisasi yang sehat justru konflik dianjurkan, hal ini sering dikenal dengan istilah kontroversi. Berbagai studi dalam bidang ilmu perilaku oranisasi yang menunjukkan bahwa adu argumentasi, ketidaksetujuan, debat, ide-ide atau informasi yang bermacam-macam ternyata sangat penting dalam meningkatkan kreatifitas dan kualitas kelompok. Keuntungan yang diperoleh dengan adanya konflik antara lain adalah anggota kelompok akan lebih terstimulasi atau terangsang untuk berpikir atau berbuat sehingga mengakibatkan kelompok menjadi lebih dinamis dan berkembang karena setiap orang mempunyai kesempatan untuk menuangkan ide-ide atau buah pikirannya secara lebih terbuka. Namun, untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam artian produktif konstruktif, konflik harus dikendalikan secara positif.
Kerugian yang ditimbulkan oleh konflik biasanya disebabkan karena konflik tersebut biarkan berjalan dalam waktu yang lama dan berkepanjangan atau dibiarkan menjadi semakin meruncing tanpa ada penyelesaian. Tentu hal ini dapat merusak iklim kerja dan pada akhirnya akan berpengaruh pada kinerja kelompok.
Pada dasarnya konflik yang terjadi dapat dikategorikan dalam dua bentuk yaitu konflik antar individu (interpersonal conflict) dan konflik antar kelompok (intergroup onflict). Diantara kedua bentuk ini, konflik antar individu merupakan permasalahan yang cukup serius karena keadaan ini dapat mempengaruhi emosi individu secara mendalam dan bila keadaan ini tidak dikendalikan secara tepat maka cepat atau lambat dapat merusak iklim kerja baik dalam kelompok maupun organisasi.
Bila seseorang berada dalam keadaan konflik ada dua hal yang mempengaruhi cara yang ditempuh untuk mengatasinya yaitu 1) memperhatikan tujuan personal dan 2) keinginan untuk tetap mempertahankan hubungan baik dengan anggota kelompok. Dengan mempertimbangkan kedua aspek ini, dalam penyelesaian konflik dikenal beberapa kemungkinan strategi yang ditempuh
©2004 Digitized by USU digital library
 
4
seperti menghindar dari konflik
Strategi dan hasil yang mungkin dapat diperoleh dalam mengatasi konflik dapat kita lihat sebagai berikut :
Strategi yang dipilih: Kemungkinan hasil yang diperoleh:
- menghindari persoalan (avoiding) - kalah-kalah (lose-lose)
- melunakkan suasana (smoothing) - kalah-menang (lose-win)
- menggunakan kekerasan (forcing) - menang-kalah (win-lose)
- konfrontasi (controntation) - menang-menang (win-win)
Walaupun kesemua cara atau strategi ini cukup efektif, namun yang paling ideal adalah pendekatan dengan cara konfrontasi. Alasannya adalah karena dengan strategi konfrontasi semua persoalan yang diduga menjadi penyebab timbulnya konflik akan terungkap sehingga kedua belah pihak akan dapat melihat kembali dan mempelajari secara matang dan untuk selanjutnya diambil penyelesaian yang matang dan rasionil. Berbagai studi mengenai manajemen konflik menunjukkan bahwa penyelesaian konflik melalui pendekatan konfrontasi memberi kepuasan bagi kedua belah pihak dan dirasa cukup konstruktif.

dikutip dari: http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-linda3.pdf
(avoiding), melunakkan suasana (smoothing), memaksa dengan menggunakan kekuasaan (forcing) dan konfrontasi (confrontation). Tergantung dan strategi atau pendekatan yang dilakukan kemungkinan hasil dan penyelesaian konflik dapat berupa kalah-kalah (Jose-lose), kalah-menang (lose-win)/menang-kalah (win-lose) dan menang-menang (win-win). Tentu dan kemungkinan-kemungkinan ini yang paling ideal adalah penyelesaian yang dapat menghasilkan kondisi "menang-menang (win-win)".

Menggerakkan kelompok.

Menggerakkan kelompok pada dasarnya merupakan suatu tugas yang cukup kompleks. Banyak kita lihat kelompok-kelompok masyarakat yang partisipasinya cukup tinggi pada awalnya, tetapi lama kelamaan menjadi menurun pada akhirnya hilang sama sekali. Jelas bahwa dasar dari partisipasi ini adalah adanya motivasi atau dorongan untuk melakukan tindakan tersebut. Dorongan atau motivasi ini akan timbul bila kelompok telah menyadari akan perlunya melakukan tindakan tersebut.
 
Hoffer (1974) mengemukakan bahwa ada beberapa tahap yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat:
1. Tahap inisiasi atau tahap pendahuluan. Pada tahap ini kelompok masyarakat turut merencanakan dan memberikan ide-ide yang mendukung suatu perubahan kearah perbaikan.
2. Tahap legitimasi atau tahap pengesahan. Apa yang disarankan oleh kelompok masyarakat disyahkan agar dapat dilaksanakan.
3. Tahap implementasi atau tahap pelaksanaan. Perencanaan yang telah disyahkan mulai dilaksanakan.


Motivasi atau dorongan kelompok untuk melakukan sesuatu kegiatan melalui pendekatan diatas akan menjadi lebih besar karena sejak dari awal mereka sudah diikutsertakan. Keikutsertaan kelompok mulai dari fase perencanaan sampai pada fase pelaksanaan meningkatkan rasa tanggungjawab dan rasa memiliki dari anggota kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa klarifikasi terhadap sasaran atau tujuan sangat penting dalam memotivasi kelompok.
Faktor lain yang penting dalam upaya menggerakkan kelompok adalah dengan menciptakan keterikatan kelompok (group cohesion). Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guna meningkatkan keterikatan dalam kelompok antara lain pembinaan sama yang baik, keberhasilan memenuhi keinginan dari anggota kelompok, aga keterbukaan dan tingkat kepercayaan sesama anggota kelompok tetap tinggi. Selain itu upaya menggerakkan kelompok tidak terlepas dari kemampuan kepemimpinan seseorang. Dari berbagai studi dalam bidang bidang manajemen menujukkan bahwa keberhasilan suatu kelompok sangat tergantung dan tingkat efektifitas pemimpinnya. Semakin efektif pemimpinnya semakin tinggi pula tingkat keberhasilan kelompok itu. Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang mampu memotivasi anggota kelompoknya agar dapat mencapai sasaran atau tujuan yang diharapkan, termasuk kemampuannya dalam meningkatkan kerja tim yang baik.


dikutip dari: http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-linda3.pdf

lnteraksi langsung (face-to-face interaction)
lnteraksi secara langsung merupakan salah satu faktor yang mempunyai pengaruh besar dalam mengupayakan pengembangan kelompok/tim yang efektif. Dengan adanya interaksi langsung atau face-to-face interaction ini maka iklim kerja akan menjadi lebih baik dan sebagai dampaknya akan meningkatkan produktifitas, moral an efektifitas kerja kelompok karena komunikasi antar kelompok lebih terbuka. Agar interaksi langsung ini dapat terwujud maka dianjurkan jumlah anggota dalam kelompok tidak terlalu besar

Ketrampilan kerjasama (collaborative skills).
Kelompok tidak akan mungkin dapat berfungsi secara efektif tanpa mempunyai ketrampilan untuk bekerja sama. Ketrampilan kerjasama ini perlu dimiliki oleh anggota kelompok. Mengapa? Karena banyak orang tidak menyadari bahwa sebenarnya dalam melaksanakan tugasnya, individu tersebut merupakan bagian dari kelompok/tim. Berbagai studi mengenai pentingnya kerjasama dalam kelompok menunjukkan bahwa dengan mengumpulkan orang yang tidak mempunyai ketrampilan untuk bekerja sama walaupun mereka ini mungkin cukup ahli dalam bidangnya ternyata dalam menyelesaikan tugas kelompoknya banyak menemui kesulitan.

Proses kelompok (group processing). Proses kelompok juga merupakan hal yang penting diketahui dalam usaha pencapaian hasil kerja kelompok yang optimal. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh dengan mempelajari proses-proses yang terjadi dalam kelompok, antara lain dapat diketahui sudah sejauh mana kelompok ini berfungsi, alternatif-alternatif strategi yang dapat diambil dalam upaya perbaikan kerja kelompok.

dikutip dari:http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-linda3.pdf

Keandalan individu (individual accountability).

Keandalan individu dapat dilihat dari penampilan/performance seseorang. Dalam upaya pembentukan tim hal ini sangat penting guna mengetahui:

􀂾 kemampuan masing-masing anggota, sehingga dapat diidentifikasi yang mana perlu peningkatan.
􀂾 sejauh mana kontribusi yang telah diberikan oleh seseorang pada kelompok, apakah kontribusi tersebut sudah sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan padanya.
Pengenalan terhadap kemampuan dan kontribusi anggota kelompok ini sangat penting karena :
􀂾 memungkinkan setiap orang dalam kelompok mengetahui kontribusi masing-masing dalam kelompok.
􀂾 memungkinkan saling tolong menolong dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok.
􀂾 dapat lebih memperjelas fungsi dan tanggung jawab masing-masing anggota kelompok.
Walaupun kerja kelompok/tim ini sangat diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan atau keberhasilan, namun bila tidak dikendalikan secara benar akan menimbulkan suatu kondisi sebaliknya. Keadaan ini disebut dengan "social loafing", yaitu suatu keadaan dimana kualitas kerja tim lebih rendah bila dibandingkan dengan kerja individu, sehingga hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi yang dapat menimbulkan keadaan ini antara lain karena kurang jelasnya identifikasi kontribusi dari setiap orang, kurangnya keterikatan/kohesi diantara anggota kelompok, kurangnya tanggung jawab terhadap hasil akhir dari tugas yang diberikan. Apabila semua faktor-faktor ini cukup jelas dimana semua orang mengerti akan tugas masing-masing, menyadari akan tanggung jawab masing-masing terhadap hasil akhir serta adanya keterikatan kelompok yang cukup erat maka kemungkinan terjadinya keadaan social loafing dapat dihindari, setidak-tidaknya dikurangi.

dikutip dari:http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=942242338186411898
 

Ketergantungan positif (positive interdependency).

  􀂾 Adanya tujuan yang ingin dicapai bersama dan pencapaian tujuan ini benar-benar membutuhkan kerjasama yang tinggi.
Yang dimaksud dengan ketergantungan positif adalah suatu keadaan dimana setiap orang dalam kelompok saling membutuhkan dan merasa bahwa berhasil atau tidaknya suatu pekerjaan merupakan hasil bersama dan tanggung jawab bersama. Ketergantungan positif dapat dilihat dari persepsi positif terhadap setiap anggota kelompok. Selain itu semua anggota selalu berusaha agar keuntungan atau keberhasilan yang diperoleh dapat dinikmati oleh seluruh anggota kelompok. Kelompok yang mempunyai ketergantungan positif yang tinggi akan mempunyai keterikatan atau kohesi antar anggota yang tinggi pula.
Beberapa kondisi yang membantu pewujudan dari ketergantungan positif ini antara lain adalah :



􀂾 Adanya imbalan (reward) yang sama bagi setiap anggota kelompok. Dalam hal ini semua mendapat perlakuan yang sama tanpa ada pengecualian.

􀂾 Adanya peran dan tanggung jawab yang komplimenter dan saling berhubungan.

􀂾 Adanya ketergantungan tugas, dimana pekerjaan satu kelompok baru dapat dikerjakan bila kelompok lain telah menyelesaikan bagiannya.

􀂾 Adanya ketergantungan informasi, dimana setiap anggota kelompok hanya mempunyai sebagian dari informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Contohnya, tim ahli dalam suatu proyek.

dikutip dari:http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=942242338186411898

Teknik pembentukan kelompok.


Secara definitif, kelompok adalah dua orang atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama, saling berinteraksi, saling adanya ketergantungan dalam mencapai tujuan bersama, adanya rasa kebersamaan dan memiliki, mempunyai norma-norma dan nilai-nilai tertentu. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sejak dari awal kehidupannya, manusia telah membentuk kelompok yang kemudian menjadi dasar bagi kehidupan keluarga, perlindungan, pemerintahan, kerja dan lain-lain.
Secara umum ada 3 (tiga) hal yang menunjukkan efektif atau tidaknya suatu kelompok, yaitu kemampuan kelompok tersebut dalam mencapai tujuannya seoptimal mungkin, kemampuan kelompok dalam mempertahankan kelompoknya agar tetap serasi, selaras dan seimbang dan yang ketiga adalah kemampuan kelompok untuk berkembang dan berubah sehingga dapat terus meningkatkan kinerjanya. Kelompok yang berhasil akan mempunyai kualitas dan pola interaksi antar anggota yang terintegrasi dengan ketiga kegiatan ini. Tentu dalam hal ini, diharapkan anggota kelompok benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan kelompok yang efektif dan kontribusi apa yang perlu diberikan agar kelompoknya dapat menjadi kelompok yang efektif.


Ada beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan dalam upaya pembentukan kelompok/tim, yaitu :

1. Adanya ketergantungan yang sifatnya positif (positive interdependency).
2. Keandalan individu (individual accountability).
3. lnteraksi langsung (face-to-face interaction).
4. Ketrampilan kerjasama (collaborative skills). 5. Proses kelompok (group processing).

dikutip dari(copypaste): http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-linda3.pdf